PENUNJUKAN LANGSUNG DALAM PROSES PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA

source from google
source from google

PENUNJUKAN LANGSUNG DALAM PROSES PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA

1.    PENDAHULUAN

Dalam aktivitas bisnis dapat dipastikan terjadi persaingan (competition) di antara pelaku usaha. Pelaku usaha akan berusaha menciptakan, mengemas, serta memasarkan produk yang dimiliki baik barang/jasa sebaik mungkin agar diminati dan dibeli oleh konsumen. Persaingan dalam usaha dapat berimplikasi positif, sebaliknya juga dapat menjadi negatif jika dijalankan dengan prilaku negatif dan sistem ekonomi yang menyebabkan tidak kompetitif.[1]

Dari sisi manfaat, persaingan dalam dunia usaha adalah cara yang efektif untuk mencapai pendayagunaan secara optimal. Dengan adanya rivalitas akan cenderung menekan ongkos-ongkos produksi sehingga harga menjadi lebih rendah serta kualitasnya semakin meningkat. Bahkan lebih dari itu persaingan usaha dapat menjadi landasan fundamental bagi kinerja di atas rata-rata untuk jangka panjang dan dinamakannya keunggulan bersaing yang lestari (sustainable competitive advantage) yang dapat diperoleh melalui tiga strategi generic, yakni keunggulan biaya, diferensiasi, dan focus biaya.[2]

Jaminan terhadap persaingan usaha tidak sehat kemudian diberikan oleh Negara dengan diterbitkannya UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Tujuan pembentukan UU No. 5 Tahun 1999 secara umum bertujuan untuk menjaga iklim persaingan usaha yang sehat antara sesama pelaku usaha dan mencegah praktek monopoli.

Sehubungan dengan adanya indikasi praktek-praktek monopoli, terdapat pula suatu anggapan yang menyatakan bahwa hal tersebut dapat menimbulkan dampak yang tidak baik terhadap birokrasi di lingkungan pemerintahan, karena di dalamnya ada tersembunyi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan untuk melindunginya. Pernyataan tersebut mengandung suatu makna, bahwa di balik usaha-usaha praktek monopoli terdapat suatu kerjasama yang tidak dapat “dibuka” antara kelompok bisnis swasta dan birokrat yang memiliki kepentingan-kepentingan ekonomi.[3]

Dalam lingkup pengadaan barang/jasa pemerintah sangat dimungkinkan terjadinya persekongkolan sehingga menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat. Terlepas apakah di dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah berpotensi terjadi tindak pidana atau tidak, dengan terjadinya persekongkolan akan menghilangkan persaingan antarpelaku usaha. Tentu saja persekongkolan dalam hal pengadaan barang/jasa pemerintah tidak sejalan dengan tujuan pembentukan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Apalagi yang melakukan persekongkolan adalah instansi pemerintah yang tidak lain merupakan wajah dari pemerintah yang seharusnya memberikan contoh dalam hal penegakan Undang-undang.

Persekongkolan tentu saja tidak mungkin terjadi hanya pada satu pihak saja. Jika persekongkolan terjadi pada pengadaan barang/jasa pemerintah, tentu saja yang bersekongkol adalah antara pelaku usaha sebagai penyedia barang/jasa dan pemerintah, dalam hal ini pejabat instansi pemerintahan yang berwenang dalam hal pengadaan barang/jasa pemerintah. Jika persekongkolan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah benar terjadi, maka akan sangat kontradiksi antara pernyataan Negara dalam bentuk Undang-Undang No. 5 tahun 1999 dengan prilaku pejabat pemerintahan yang dalam hal ini sebagai wajah dari pemerintah itu sendiri. Selain dari kontradiksinya antara pernyataan dengan tindakan pemerintah, persekongkolan ini juga menimbulkan kerugian masyarakat dengan  tidak adanya kepastian peluang dalam bersaing secara sehat antarpelaku usaha.

Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan Perpres No.54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagai pengganti Keppres No. 80 Tahun 2003 yang dinilai sudah tidak memadai lagi. Perpres No.54 tahun 2010 dilatarbelakangi oleh cita-cita tata pemerintahan yang baik dan bersih.[4] Presiden Yudhoyono menyadari bahwa pengadaan barang dan jasa merupakan sektor yang paling rawan korupsi. Dalam isntruksi Presiden Nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, melalui Perpres No. 54 Tahun 2010. Diharapkan penerapan perpres No. 54 Tahun 2010 berkontribusi pada pembelanjaan Negara yang lebih efisien. Selain itu, Perpres No. 54 tahun 2010 juga mempromosikan persaingan usaha sehat dengan proses tender yang diikuti lebih dari 2 (dua) penawar/pelaku usaha.[5]

Pada proses pengadaan barang/jasa pemerintah dimungkinkan dilakukan dengan cara penunjukan langsung sebagai salah satu metode pemilihan.[6] Kecurigaan yang kemudian muncul adalah, jika pengadaan barang/jasa yang harus melewati proses lelang saja masih dimungkinkan terjadinya persekongkolan tender, apalagi dengan proses penunjukan langsung terhadap pengadaan barang/jasa pemerintah. Meskipun jumlah nominal pengadaan barang/jasa telah dibatasi, namun dalam hal ini jika terjadi persekongkolan dalam penunjukan langsung tetap saja dapat menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat. Karena dimungkinkan pelaku usaha yang ditunjuk langsung dalam proses pengadaan langsung ini bisa saja memiliki kedekatan kekerabatan atau bahkan hubungan keluarga dengan pejabat yang memiliki kewenangan dalam proses pengadaan barang/jasa tersebut.

Berdasarkan pendahuluan di atas, masih perlu dikaji lebih lanjut tentang proses penunjukan langsung pengadaan barang/jasa pemerintah berdasarkan Perpres No. 54 Tahun 2010 yang diubah menjadi Perpres Nomor 70 tahun 2012, apakah bertentangan dengan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam hal tujuan menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat.

2. PENUNJUKAN LANGSUNG

Penunjukan langsung adalah metode pemilihan penyedia barang/jasa dengan cara menunjuk langsung 1 (satu) penyedia barang/jasa.[7] Metode pemilihan langsung dimungkinkan sebagaimana diatur dalam Pasal 35 Perpres No. 54 tahun 2010 yang menyatakan bahwa:[8]

1.ULP/Pejabat Pengadaan menyusun dan menetapkan metode pemilihan Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya.

2. Pemilihan Penyediaan Barang/Jasa lainnya dilakukan dengan:

  • a. Pelelangan yang terdiri atas Pelelangan Umum dan Pelelangan Sederhana;
  • b. Penunjukan Langsung;
  • c. Pengadaan Langsung; atau
  • d. Kontes/Sayembara

3.Pemilihan Penyedia Pekerja Konstruksi dilakukan dengan:

  • a. Pelelangan Umum;
  • b. Pelelangan Terbatas;
  • c. Pemilihan Langsung;
  • d. Penunjukan Langsung;
  • e. Pengadaan Langsung.

Kemudian Perpres No. 70 Tahun 2012 sebagai pengganti Perpres No. 54 tahun 2010 mengubah mengenai ketentuan Pasal 35 ayat (2) diubah dan diantara ayat (3) dan ayat (4) disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (3a) sehingga Pasal 35 berbunyi:[9]

1.ULP/Pejabat Pengadaan menyusun dan menetapkan metode pemilihan Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya.

2.Pemilihan Penyediaan Barang/Jasa lainnya dilakukan dengan:

  • a. Pelelangan Umum;
  • b. Pelelangan Terbatas;
  • c. Pelelangan Sederhana;
  • d. Penunjukan Langsung;
  • e. Pengadaan Langsung; atau
  • f. Kontes.

3. Pemilihan Penyedia Pekerja Konstruksi dilakukan dengan:

  • a. Pelelangan Umum;
  • b. Pelelangan Terbatas;
  • c. Pemilihan Langsung;
  • d. Penunjukan Langsung;
  • e. Pengadaan Langsung.

3(a). Pemilihan Penyedia Jasa Lainnya dilakukan dengan:

  • a. Pelelangan Umum;
  • b. Pelelangan Sederhana;
  • c. Penunjukan Langsung;
  • d. Pengadaan langsung; dan
  • e. Sayembara

Selain dengan metode Penunjukan Langsung, dimunkinkan juga dengan cara Pengadaan Langsung sebagaimana Perpres 70 Tahun 2012 menyebutkan. Pengadaan Langsung adalah Pengadaan Barang/Jasa langsung kepada Penyedia Barang/Jasa tanpa melalui Pelelangan/ Seleksi/ Penunjukan Langsung.

Pada Pasal 17 Perpres No.70 Tahun 2012 Pasal 2 huruf (g) dan huruf (h) ditentukan tugas pokok dan kewenangan yang berbunyi:

g. Khusus Kelompok Kerja ULP:

  1. Menjawab sanggahan;
  2. Menetapkan Penyedia Barang/Jasa untuk:
    1. Pelelangan atau Penunjukan Langsung untuk paket Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi Rp. 100.000.000.000,- (seratus miliar rupiah); atau
    2. Seleksi atau penunjukan langsung untuk paket Pengadaan Jasa Konsultasi yang bernilai paling tinggi Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah);

h. Khusus Pejabat Pengadaan:

  1. Menetapkan Penyediaan Barang/Jasa untuk:
    1. Pengadaan Langsung untuk paket Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah); dan/atau
    2. Pengadaan Langsung untuk Paket Pengadaan Jasa Konsultasi yang bernilai paling tinggi Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah);
    3. Menyerahkan dokumen asli pemilihan Penyediaan Barang/Jasa kepada PA/KPA;

 

Dilihat dari pengertian yang diberikan oleh Perpres Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ini terhadap Penunjukan Langsung dan Pengadaan Langsung, pengertian yang diberikan ini bertujuan untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan melaui percepatan pelaksanaan belanja negara. Dalam rangka percepatan pelaksanaan belanja Negara perlu percepatan pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.[10]

Pada prinsipnya pemilihan penyedia barang dan jasa harus dilakukan secara swakelola, penunjukan langsung dan pelelangan. Khususnya dalam hal pelelangan agar tercapai persaingan yang kompetitif dan akhirnya diperoleh penawaran yang efisien, dengan tetap mengacu kepada prinsip-prinsip pengadaan barang dan jasa yaitu transparan, adil dan persaingan yang sehat. Hanya dalam keadaan tertentu atau terpaksa dilakukan dengan cara penunjukan langsung atau pemilihan langsung.[11]

Jika mengacu pada kasus yang ditangani Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) selama periode 2006-2012, dari 173 perkara yang telah diputuskan oleh KPPU, 56% diantaranya atau sebesar 97 perkara merupakan perkara persekongkolan tender pengadaan barang dan jasa.[12] Artinya lebih dari setengah perkara yang diputuskan oleh KPPU adalah persekongkolan tender dalam pengadaan barang/jasa. Hal ini membuktikan bahwa dalam proses pengadaan barang/jasa masih menjadi sektor yang sangat menjanjikan bagi para pelaku usaha penyedia barang/jasa dan pejabat pengadaan untuk melakukan persekongkolan dalam tender yang tentu saja menyebabkan siklus persaingan usaha yang tidak sehat.

Dana publik meliputi APBN, dana BUMN/BUMD serta Bank Indonesia berjumlah Rp125 sampai dengan Rp150 triliun per tahun, tidak kurang 25% APBN dan APBD di seluruh Indonesia pelaksanaanya diatur melalui aturan-aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Karena prosentasenya yang cukup signifikan tersebut, maka wajarlah kiranya jika Usaha Pengadaan Barang dan Jasa menjadi sektor primadona bagi pengusaha-pengusaha lokal di daerah.[13]

Setiap tahunnya pertambahan pemain-pemain baru di dunia pengadaan barang/jasa cukup tinggi, bahkan Asosiasinya juga semakin bertambah. Dahulu kita hanya mengenal Gapensi, Ardin, atau induknya Kadin, sekarang semakin menjamur dengan nama-nama baru. Bahkan banyak pegawai negeri dan anggota DPRD di daerah menjadikan sektor ini sebagai pekerjaan sampingan walaupun kenyataannya menjadikan pendapatan (penghasilan) utama, dalam praktiknya perusahaan diatas namakan istri, anak atau pihak keluarga lainnya.[14]

Banyaknya anggaran yang dianggarkan untuk pengadaan barang/jasa pemerintah setiap tahunnya serta fenomena-fenomena pegawai negeri dan anggota DPR baik pusat maupun daerah yang membuat perusahaan penyedia jasa pengadaan barang/jasa inilah yang menjadikan alasan banyaknya kasus yang diputus oleh KKPU mengenai persekongkolan tender pengadaan barang/jasa. Persekongkolan tender inilah yang kemudian merusak iklim persaingan usaha yang sehat, selain itu juga berdampak pada kerugian Negara karena berpotensi terjadi tindak pidana korupsi.

Larangan persekongkolan dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Diatur pada Pasal 22 yang berbunyi:

“Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan  pemenang tender, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”

Pengertian tentang tender, Muchtar (Sekjen Deperindag) menyatakan bahwa tender adalah tawaran yang dilakukan secara terbuka untuk umum, dan bukan penunjukan dari pemerintah.[15]

Jika demikian pengertiannya, maka Penunjukan Langsung dan Pengadaan Langsung sebagaimana Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah bukanlah masuk dalam kategori tender. Karena tender yang dimaksud adalah penawaran yang dilakukan secara terbuka untuk umum dan bukan penunjukan dari pemerintah seperti penunjukan langsung atau pengadaan langsung.

Demikian juga halnya dengan praktik persekongkolan yang umumnya diartikan salah satu bentuk persekongkolan untuk menentukan pemenang dalam sebuah tender. Dalam pemahaman sederhananya, kata pemenang tender berarti ada dua atau lebih yang memasukkan penawaran tender. Sementara untuk penunjukan langsung dan pengadaan langsung hanya satu pelaku usaha yang ditunjuk langsung oleh pemerintah dalam hal ini panitia pengadaan barang/jasa.

Atau pengertian yang diberikan oleh UU No. 5 tahun 1999 dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 huruf (h), persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerja sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol. Sama halnya dengan pengertian ini, dikatakan adanya bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain, yang artinya ada dua pelaku usaha.

Namun dari pengertian yang coba diberikan oleh UU dan Perpres yang sepertinya membuat tidak bisanya dimasukkan unsur persekongkolan di dalam penunjukan langsung dan pengadaan langsung bukan berarti menghilangkan atau meniadakan kemungkinan persekongkolan di dalamnya.

Tindakan persekongkolan (conspiracy) dalam hukum perjanjian termasuk dalam kategori perjanjian. Pada hakekatnya perjanjian terdiri dari dua macam, pertama perjanjian yang dinyatakan secara jelas (express agreement), biasanya tertuang dalam bentuk tertulis, sehingga relative lebih mudah dalam proses pembuktiannya. Kedua, perjanjian tidak langsung (implied agreement), biasanya berbentuk lisan atau kesepakatan-kesepakatan.[16]

Pada umumnya, orang yang melakukan konspirasi atau persekongkolan berupaya sebisa mungkin untuk menghilangkan bukti-bukti keterlibatannya di dalam persekongkolan. Jadi sebisa mungkin mereka menghilangkan kesepakatan tertulis dan lebih menggunakan kesepakatan dalam bentuk lisan.

Yang harus lebih diperhatikan adalah apakah alasan Pemerintah memasukkan mekanisme Penunjukan Langsung dan Pengadaan Langsung dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Jawanbannya bisa dilihat pada unsur menimbang di dalam Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa. Setidaknya ada dua alasan yang dijadikan pemerintah dalam penetapan perpres ini, yaitu:[17]

  1. bahwa dalam rangka percepatan pelaksanaan pembangunan perlu percepatan pelaksanaan belanja Negara
  2. bahwa dalam rangka percepatan pelaksanaan belanja Negara perlu percepatan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

tentu saja alasan Pemerintah dalam menetapkan mekanisme Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dengan Penunjukan Langsung dan Pengadaan Langsung tidak bertentangan dengan tujuan pembentukan UU No. 5 tahun 1999 yaitu untuk:[18]

  1. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
  2. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;
  3. mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku suaha; dan
  4. terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Namun jika terbukti ada persekongkolan di proses pengadaannya, tentu saja akan bertentangan dengan tujuan UU No. 5 tahun 1999 yang menginginkan persaingan usaha yang sehat. Meskipun Perpres Nomor 70 Tahun 2012 telah mengatur secara sangat ketat mengenai kriteria yang dapat dilakukan penunjukan langsung, namun masih saja bisa terjadi pelanggaran di dalam menjalankannya.[19]

Penunjukan langsung (hampir) selalu diikuti dengan praktik penggelembungan harga. Bukankah rekanan penyedia barang/jasa yang ditunjuk langsung untuk melaksanakan suatu pekerjaan harus “berterimakasih” kepada yang menunjuk? Bukankah “tidak ada makan siang gratis?” dari mana sumber dana untuk memberikan “uang tanda terima kasih?” dari menggelembungkan harga.[20]

Kombinasi antara kemungkinan diketahuinya praktik penunjukan langsung yang sangat besar dan consequences yang juga sangat besar, menjadikan nilai/ukuran risiko tindak pidana karena penunjukan langsung juga sangat besar.[21]

Untuk melihat kemungkinan konspirasi atau persekongkolan antara panitia pengadaan barang/jasa pemerintah yang melakukan penunjukan langsung atau pengadaan langsung dapat dengan mudah dilihat dari pengadaan barang/jasa yang rutin disetiap bulannya. Contohnya seperti pengadaan alat tulis kantor (ATK) dan jasa penyediaan hotel dalam rapat-rapat yang setiap bulannya dianggarkan. Jika pelaku usaha pengadaan ATK dan jasa hotel rapat berputar hanya beberapa pelaku usaha di dalam satu tahun anggaran pengadaan barang/jasa, maka sudah pasti dapat dicurigai ada persekongkolan diantara mereka.

Pada intinya penunjukan langsung dan Pengadaan langsung barang/jasa pemerintah sangat dimungkinkan terjadi persekongkolan di dalamnya, oleh karena itu penunjukan langsung dan pengadaan langsung membutuhkan pengawasan dari pihak eksteren dari instansi pemerintah dan pelaku usaha, dalam hal ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) harus mengawasi dengan serius praktik pengadaan barang/jasa pemerintah khususnya dengan metode penunjukan langsung dan pengadaan langsung.

DAFTAR PUSTAKA

LITERATUR

Adrian Sutedi, 2012, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai Permasalahannya, Sinar Grafika, Jakarta

A.M. Tri Anggraini, 2003, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat ; Perse Illegal atau Rule of Reason, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Johny Ibrahim, 2006, Hukum Persaingan Usaha (Filosofi, Teori dan Implikasi Penerapannya di Indonesia), Bayu Media, Malang

Mustafa Kamal Rokan, 2010, Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya di Indonesia, PT. RajaGrafindo, Jakarta

Suswinarno, 2012, Aman dari Risiko dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Visimedia, Jakarta

PERATURAN

UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Perpres No. 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

WEBSITE

www.kppu.go.id/id/2013/01/86-triliun-nilai-persekongkolan-tender/


[1] Mustafa Kamal Rokan, 2010, Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya di Indonesia, PT. RajaGrafindo, Jakarta, hlm. 8

[2] Johny Ibrahim, 2006, Hukum Persaingan Usaha (Filosofi, Teori dan Implikasi Penerapannya di Indonesia), Bayu Media, Malang, hlm. 102-103

[3] “Undang-Undang Antimonopoli Tetap Diperlukan”, Sinar Harapan, 24 Desember 1984 lihat A.M. Tri Anggraini, 2003, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat ; Perse Illegal atau Rule of Reason, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm.4

[4] Adrian Sutedi, 2012, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai Permasalahannya, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.11

[5] Ibid., hlm. 14-15

[6] Suswinarno, 2012, Aman dari Risiko dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Visimedia, Jakarta, hlm. 34

[7] Ibid., hlm. 34

[8] Lihat Perpres No. 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

[9] Lihat Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

[10] Lihat Perpres No. 70 Tahun 2012, bagian Menimbang.

[11] Adrian Sutedi, Op.Cit., hlm. 74

[13] Adrian Sutedi, Op.Cit., hlm. 76

[14] Ibid., hlm.76

[15] Risalah Rapat Proses Pembahasan RUU tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Masa Persidangan II, Rapat Panitia Kerja Ke-6, Rabu, 16 Desember 1998, h.1078, lihat A.M. Tri Anggraini, 2003, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat ; Perse Illegal atau Rule of Reason, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm.302

[16] A.M. Tri Anggraini, 2003, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat ; Perse Illegal atau Rule of Reason, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm.299-300

[17] Perpres No. 70 tahun 2012

[18] UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

[19] Suswinarno, Loc.Cit., hlm. 40

[20] Ibid., hal. 66

[21] Ibid., hlm.66

4 thoughts on “PENUNJUKAN LANGSUNG DALAM PROSES PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA

  1. Mohon penjelasannya dalam penunjukan langsung pekerjaan konstruksi dengan mengundang 1 rekanan apa dasarnya sedangkan banyak perusahaan yg tersedia dan jgmemenuhi kriteria untuk pekerjaan tsb dan pejabat pengadaan hanya mengundang 1 rekanan saja makasih

    • Metode penunjukan langsung dimungkinkan dilakukan sebagaimana disebutkan dalam Perpres Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Penunjukan langsung adalah metode pemilihan penyedia barang/jasa dengan cara menunjuk langsung 1 (satu) penyedia barang/jasa

      Terimakasih. semoga bermanfaat

  2. assalamualaikum mau tanyak kalau seumpama dalam lelang penujukan langsung prosedurnya ada yg keliru sedangakan surat pemenang lelang sudah di trima oleh pemenang vendor,apakah bisa diadakan lelang ulang?
    mohon bantuannya.. . . .

    • salam. saya kurang paham dengan maksud anda “lelang penunjukan langsung”. Karena dalam Perpres pengadaan Barang/Jasa Pemerinta, tidak dikenal adanya istilah lelang penunjukan langsung. Dalam Istilah lelang, Perpres Pengadaan Barang/Jasa hanya mengenal istilah Pelelangan Umum, Pelelangan Terbatas dan Pelelangan Sederhana. Sementara Penunjukan langsung adalah metode pemilihan penyedia barang/jasa dengan cara menunjuk langsung 1 (satu) penyedia barang/jasa.

      dan dalam pertanyaan saudara fervid juga tidak disebutkan secara jelas kekeliruan apa yang ditemukan sehingga sulit untuk menentukan posisi dalam menjawab pertanyaan saudara.

      namun, jika yang dimaksudkan kekeliruan adalah persekongkokolan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Yang Tidak Sehat yang berbunyi: “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat” maka anda sebagai pihak yang dirugikan dapat melaporkan proses pengadaan barang/jasa tersebut kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha.

      Terima kasih, semoga bermanfaat

Leave a comment