Perbedaan Badan Hukum dan Bukan Badan Hukum

source form AMPUHDalam dunia usaha di Indonesia, setiap pengusaha yang ingin menjalankan kegiatan usahanya memerlukan sebuah badan usaha yang terdaftar secara resmi sehingga para pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatan usaha dan peristiwa hukum yang berkaitan dalam menjalankan kegiatan usaha tersebut memiliki legalitas atau kekuatan hukum dalam bertindak. Dengan kata lain, perbuatan para pelaku usaha tersebut dibenarkan dan diizinkan oleh Negara serta memiliki kepastian hukum. Hanya saja dalam praktiknya, perlu diketahui bahwa tidak semua badan usaha memerlukan perizinan atau mengharuskan pembuatan akta pendirian di hadapan notaris sebagai sebuah syarat awal untuk menjalankan kegiatan usaha. Sebagai contohnya adalah para pelaku usaha dunia maya (online shop) yang banyak akhir-akhir ini yang melakukan kegiatan usahanya hanya melalui seperangkat elektronik yang canggih baik itu berupa handphone maupun tablet yang dapat mendukung kegiatan usahanya tersebut. Akan tetapi, bagi pelaku usaha yang ingin memiliki kelegalan dan kepastian hukum terhadap kegiatan usahanya memerlukan pembuatan akta pendirian di hadapan notaris. Pembuatan akta notaris dalam badan usaha pun juga tidak serta merta menjadikan kegiatan usaha tersebut berstatus badan hukum. Mengapa demikian? karena  di Indonesia dikenal 2 (dua) pengelompokan kategori badan usaha yaitu:

  1. Badan Usaha yang berbadan hukum.
  2. Badan Usaha yang tidak berbadan hukum.

Apa perbedaan dari keduanya? Badan usaha yang bukan merupakan badan hukum tidak akan dipersamakan kedudukannya sebagai orang sehingga tidak memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan para pendirinya.[1] Perbedaan badan hukum dan bukan hukum terletak pada pemisahaan harta kekayaan. Badan usaha yang berbadan hukum, contohnya adalah Perseroan Terbatas (PT). Pada Perseroan Terbatas (PT), badan usaha PT memiliki harta kekayaan tersendiri. Harta kekayaan PT tersebut terpisah dengan harta kekayaan para pemegang saham PT. Dalam artian jika PT tersebut mengalami kerugian, maka tanggung jawab para pemegang saham tersebut terbatas pada nilai saham yang dimilikinya. Berbeda dengan badan usaha yang tidak berbadan hukum yang harta kekayaan pendirinya tidak terpisah dengan harta kekayaan badan usaha tersebut. Sehingga jika badan usaha yang tidak berbadan hukum tersebut mengalami kerugian, maka berakibat pada pertanggung jawaban pemilik badan usaha tersebut. Dalam penggantian kerugian badan usaha tersebut, harta kekayaan pemiliknya dapat disita atau diambil hingga pertanggung jawaban kerugian tersebut lunas atau selesai.

Bentuk badan usaha yang tidak berbadan hukum adalah:[2]

  1. Usaha Dagang (UD) atau kadang juga dikenal dengan istilah PD (Perusahaan Dagang)
  2. Persekutuan Perdata (Maatschap) yang diatur dalam Pasal 1618-1652 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)
  3. Firma/Fa (Vennootschap Onder Firma), yang diatur dalam Pasal 16-35 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
  4. Persekutuan Komanditer/CV (Comanditaire Vennootschhap), yang diatur dalam Pasal 19 KUHD.
  5. Perkumpulan yang tidak berbadan hukum, yang diatur dalam Pasal 1653-1665 KUHPer.

Selain perbedaan pada pemisahan harta kekayaan, perbedaan berikutnya juga terletak pada posisi badan usaha sebagai subjek hukum di dalam pengadilan. Badan usaha yang berbadan hukum merupakan subjek hukum yang juga dapat dituntut serta melakukan penuntutan di muka pengadilan atas nama badan usaha. Yang melakukan penuntutan tersebut tentu saja, bukan badan usaha itu sendiri secara langsung, melainkan orang yang dikuasakan untuk melakukan perbuatan hukum tersebut, Hal ini dikarenakan badan hukum merupakan aggregate theory yang berarti kumpulan-kumpulan manusia/orang yang terkait dengan badan hukum tersebut. Sementara badan usaha yang tidak berbadan hukum tidak dapat dituntut dan melakukan kumpulan penuntutan di muka pengadilan atas nama badan usaha tersebut. Akan tetapi, di dalam badan usaha yang tidak berbadan hukum yang dituntut di muka pengadilan adalah pendiri dari badan usaha tersebut serta yang melakukan penuntutan di muka pengadilan jug pendiri tersebut yang bertindak atas namanya sendiri.


[1] Irma Devita, 2010, “Kiat-Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Mendirikan Badan Usaha”, Kaifa, Bandung, hlm. 2

[2] Ibid, hlm. 3

Leave a comment