Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Telekonferensi

source from AMPUH

Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.[1]. RUPS merupakan sebuah forum tempat berkumpulnya para pemegang saham untuk membahas hal-hal yang berhubungan dengan Perseroan.

Di dalam sebuah perseroan, jabatan pemegang saham bukanlah pemegang kekuasaan tertinggi dan mutlak dalam sebuah perseroan. Hanya terkadang jabatan tersebut dapat dipakai untuk mempengaruhi kebijakan sebuah perseroan. Para pemegang saham baru mempunyai kekuasaan atas perseroan jika mereka atau para pemegang saham dengan hak suara yang sah, baik pemiliknya sendiri maupun dengan kuasa tertulis berada di dalam sebuah forum atau pertemuan yang bernama Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas pada tanggal 16 Agustus 2007, merupakan sebuah kemajuan dalam aturan hukum yang merespon kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dengan dicantumkannya media teleconference dan video conference dalam ketentuan undang-undang tersebut.

RUPS yang dahulu dilakukan di dalam satu ruangan yang sama dan tertutup untuk mempertemukan para pemegang saham secara langsung atau face to face kini RUPS dapat dilakukan dengan tidak mempertemukan para pemegang saham di dalam satu ruangan yang sama tetapi dapat dilakukan di tempat yang berbeda-beda dalam waktu yang sama dengan memanfaatkan media telekonferensi selama para pemegang saham masih berada di dalam wilayah geografis Negara Republik Indonesia.

Dalam Pasal 77 UUPT nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur bahwa penyelenggaraan RUPS dapat dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS melihat dan mendengar serta secara langsung berpartisipasi dalam rapat. [2]

Berdasarkan aturan tersebut bahwa selain RUPS yang konvensional, RUPS juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan media seperti telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya. Media-media yang akan digunakan dalam RUPS berdasarkan pasal 77 UUPT tersebut bersifat alternatif, dalam arti tergantung pihak yang berkompeten dalam memilih media yang digunakan dalam RUPS tersebut. [3].

Pilihan media yang dimaksud di atas, harus memenuhi minimal 3 (tiga) syarat yang bersifat kumulatif, yaitu : a. peserta harus saling melihat secara langsung; b. peserta harus saling mendengar secara langsung; c. peserta berpartisipasi dalam rapat. Hal ini berarti apabila salah satu syarat tidak terpenuhi maka media yang dimaksud tidak memenuhi syarat untuk dijadikan media dalam pelaksanaan RUPS. [4].

Ketentuan UUPT mensyarakatkan bahwa setiap perubahan yang berhubungan dengan anggaran dasar dari PT itu harus dibuatkan risalah rapat yang harus dituangkan dalam akta otentik, yaitu akta Notaris. Di dalam pasal 77 ayat (4) UUPT secara jelas disebutkan bahwa setiap RUPS yang dilakukan  melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya harus dibuatkan risalah rapat yang disetujui dan ditanda-tangani oleh semua peserta RUPS.

Dalam proses pembuatan risalah rapat menjadi Akta Notaris dimungkinkan melalui 2 (dua) cara yaitu Pertama, dengan akta otentik yang dibuat langsung oleh Notaris dalam bentuk Berita Acara Rapat (BAR), dalam pembuatan BAR Notaris harus hadir secara langsung mengikuti RUPS tersebut. Cara yang ke- 2 (dua) adalah dengan Pernyataan Keputusan Rapat (PKR) yaitu dengan memberi kuasa kepada salah seorang yang hadir dalam rapat untuk membuat dan menyatakan kembali risalah rapat di hadapan Notaris. Hal ini lazimnya digunakan terhadap RUPS yang mewajibkan pembuatan risalah rapat dengan Akta Notaris namun tidak menghadirkan Notaris secara langsung dalam RUPS tersebut dalam pembuatan akta Notaris.[5].

Proses pembuatan risalah rapat menjadi akta notaris yang dijelaskan di atas hampir tidak memiliki hambatan sama sekali jika RUPS dilakukan secara konvensional. Permasalahan baru muncul ketika RUPS dilakukan dengan media telekonferensi karena para pemegang saham tidak berada pada satu tempat yang sama dalam melaksanakan RUPS tetapi berada pada letak geografis yang berbeda-beda dalam waktu yang sama dalam melaksanakan RUPS.

Jika didalam pelaksanaanya RUPS telekonferensi memakai cara yang pertama yaitu dengan akta otentik dibuat langsung oleh Notaris yang hadir dalam RUPS tersebut dalam bentuk Berita Acara Rapat (BAR), maka permasalahan yang muncul adalah tidak semua para pemegang saham yang hadir dalam RUPS berada di tempat yang sama di mana notaris tersebut hadir di dalam RUPS karena menggunakan media telekonferensi.

Kondisi ini mengakibatkan para pemegang saham yang hadir dalam RUPS tidak secara keseluruhan berada dihadapan notaris. Sebagimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, bahwa yang dimaksud akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini [6].

Permasalah lain yang muncul adalah ketentuan pasal 77 ayat (4) UUPT yang mengharuskan risalah rapat disetujui dan ditanda-tangani oleh semua peserta RUPS. Sekalipun UUITE No.11 tahun 2008 mengatur tentang tanda tangan elektronik, namun di dalam pembuatan akta otentik belum diatur penggunaan tanda tangan elektronik sebagai tanda sebuah ikatan terjadi. Pengertian akta otentik berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.[7].

Jika didalam pelaksanaanya RUPS telekonferensi memakai cara yang 2 (dua) dengan Pernyataan Keputusan Rapat (PKR) yang dimana tidak menghadirkan Notaris secara langsung dalam RUPS tersebut dalam pembuatan akta Notaris. Permasalahan yang muncul adalah hasil bentuk risalah rapat yang diserahkan kepada notaris untuk dinyatakan kembali kedalam bentuk akta otentik berupa dokumen elektronik karena RUPS dilakukan melalui media elektronik. Sama halnya dengan permasalahan dengan memakai cara pertama yaitu permasalahan terletak pada belum diaturnya penggunaan tanda tangan elektronik di dalam pembuatan akta otentik.

Belum lagi permasalahan jaringan ketika RUPS telekonferensi sementara dilakukan. Jika salah satu pemegang saham yang sementara online mendadak terputus karena gangguan jaringan dan tidak bisa melanjutkan mengikuti jalannya rapat. Apakah dia bisa dikategorikan hadir di dalam RUPS atau dianggap tidak hadir?

Permasalahan inilah yang kemudian menjadi salah satu pemicu lahirnya wacana Cyber Notary di Indonesia. Kemajuan teknologi telah memungkinkan catatan dan dokumen yang dibuat di atas kertas dialihkan ke dalam media elektronik dan atau dibuat secara langsung dalam media elektronik sehingga tidak menutup kemungkinan akta otentik konvensional bisa beralih menjadi akta otentik elektronik.

Fotenote :

[1]. Anonim, 2007, Undang-Undang Perseroan Terbatas 2007 dan penjelasannya, edisi kesatu, Gradien Mediatama, Yogyakarta, hlm. 7

[2]. Ibid, hlm. 51

[3]. Ahmadi Miru, Makalah: “Cyber Notary Dari Sudut Pandang Sistem Hukum Indonesia dan Pemberlakuan Cyber Notary di Indonesia Ditinjau Dari Undang-undang Jabatan Notaris”, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, 25 Juni, 2011, hlm. 11

[4]. Ibid, hlm. 11-12

[5]. Resha Agriansyah, 2011, “Pengembangan Hukum Bagi Pembuatan Akta Otentik Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Berbasis Telekonferensi’, Tesis, Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara, Jakarta, hlm. 4-5

[6]. Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

[7].Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2005), hal. 457.